Pages

8/11/2008

Demokrasi Politik Lokal

A. Prolog
Gelombang transisi demokrasi di Indonesia pasca reformasi telah membawa
perubahan dan kemajuan yang berarti, tetapi juga menyajikan banyak problem dan
tantangan konsolidasi serta menampilkan pergulatan antara warisan masa lampau yang
masih mengakar dengan ide-ide alternatif untuk pembaharuan.
Reformasi sistem pemerintahan yang dilakukan melalui proses desentralisasi
Indonesia menunjukkan dua kecenderungan. Pertama, proses pergeseran itu cenderung
dilihat sebagai persoalan ekonomi dan politik semata ketika identifikasi persoalan dan
pemecahan yang dilakukan cenderung mengabaikan dimensi-dimensi sosial budaya.
Perubahan ekonomi dan politik tidak hanya direduksi dengan cara yang begitu sederhana
sehingga mengabaikan dimensi sosial dan dimensi budaya dalam proses penciptaan suatu
tatanan yang lebih baik (Soedjatmoko 1983; Abdullah 2003). Kedua, reformasi sistem
pemerintahan masih menjadi konsep top-down yang proses pembagian otoritas politiknya
masih didasarkan pada konsepsi politik dan kemauan politik pemerintah pusat. Otoritas
lokal belum menjadi praktik aktual yang berlangsung secara dialogis dalam hubungan pusatdaerah.

Namun demikian, demokrasi lokal secara bertahap dan pelan-pelan telah
mendorong tumbuhnya pemerintahan lokal yang semakin terbuka. Fenomena pergeseran
dari pemerintahan birokratis (bureaucratic government) ke pemerintahan partai (party
government) merupakan sebuah contoh hadirnya pemerintahan yang semakin terbuka.
Demokrasi mengajarkan bahwa kekuasaan politik dalam pemerintahan harus diorganisir
melalui arena masyarakat politik, yakni “kompetisi” secara terbuka di antara aktor politik
dan “partisipasi politik” masyarakat sebagai basisnya. Pemerintahan partai yang dibangun
dari kompetisi dalam arena masyarakat politik, secara teoritis akan membuat linkage
antara masyarakat dengan sistem politik, memperkuat akuntabilitas penguasa lokal kepada
konstituen yang telah memberikan mandatnya, membuat partai politik lebih berakar
(berbasis) pada masyarakat, membuka akses yang lebih luas bagi pemain-pemain baru, dan
seterusnya.
B. Demokrasi Politik Lokal: Proses Pembentukan Identitas
Politik dapat dipandang dalam beberapa konteks sebagaimana diungkapkan Surbakti
(1992) yaitu: (a) Usaha yang di tempuh warga negara untuk membicarakan dan kebaikan
bersama; (b) Segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan;
(c) Segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam
masyarakat; (d) Kegiatan yang berkaiatan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan
umum; (e) Sebagai konflik dalam rangka mencari atau mempertahankan sumber yang
dianggap penting.
Heinelt dan Wollmann (1991) mendefinisikan politik lokal sebagai suatu sense dalam
pembagunan dan penghargaan secara sosial yang berupa keputusan-kepurusan dalam sistem
interaksi berdasarkan fisik dan ruang sosial. Berbicara tentang politik lokal akan terkait
dengan kekuasaan yang digunakan untuk memimpin suatu masyarakat tertentu. Dimana
kekuasaan itu tidak hanya didasarkan pada kemampuan tetapi juga oleh faktor lain yang
memiliki kaitan dengan keberadaan masyarakat atau daerah yang bersangkutan. Oleh
karena itu ada dua faktor yang mempengaruhi kehidupan politik lokal masyarakat Indonesia
yaitu sistem kultural dan sistem kepercayaan (Sjamsudin, 1989).
Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mempertemukan
keinginan pusat dan aspirasi lokal melalui peran birokrasi di daerah atau pada aras lokal.
Dinamika kehidupan pemerintahan lokal yang akan datang di kondisikan oleh perubahan
ekonomi dan sosial. Konflik ideologi dan politik lokal akan tetap terjadi di sekitar pemerintahan lokal (John and Gerry, 1989). Hal ini disebabkan kehidupan pada pemerintah
lokal memiliki karakteristik yang berbeda dengan daerah lain maupun pemerintah pusat.
Perubahan struktur pemerintahan lokal sebenaranya merupakan perluasan program
ekonomi, sosial dan pembaharuan ideologi. Dengan demikian, upaya yang perlu dilakukan
adalah menghadapi tantangan yang ditekankan pada keuangan untuk kemudian diperluas
perhatiannya pada peran, organisasi, kelembagaan, dan manajemen. Oleh karena itu,
dalam pemerintahan lokal penataan kehidupan bernegara untuk melakukan interaksi
dengan pemerintah pusat secara optimal perlu dilakukan. Dalam hal ini ada tiga hal yang
perlu dilihat dalam status pemerintahan lokal yaitu: fungsi, struktur, dan keuangan (Martin,
1986). Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan tradisional sudah mulai disinergiskan dengan
aktifitas yang berbau nasional bahkan global.
Program pembangunan yang akan diintegrasikan kemudian membawa stabilitas
internal, tentunya memerlukan peran dari pemerintah pusat, dan pada saat sama peran
pemerintah daerah (propinsi ataupun kabupaten dan kota) juga sangat diperlukan. Karena
kurangnya sumber yang tersedia ditingkat lokal, maka pemerintah lokal pada saat ini
mendapat peran penting dan akses dari struktur pemerintah pusat. Hal ini ditandai oleh
kebijakan pemerintah pusat akan desentralisasi pada pemerintah lokal dan merupakan
otoritas daerah untuk mempertemukan berbagai tujuan dan kemampuan dalam
pembangunan daerah melalui program pembangunan. Pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pemerintah lokal akan alokasi
sumber-sumber yang dimiliki dengan tidak tergantung secara vis-à-vis dengan pemerintah
pusat.
Hegemoni negara yang dipraktikkan selama Orde Baru yang memarginalkan
masyarakat lokal dalam berbagai aspek perlu direvitalisasi (diberi penguatan kembali)
sehingga dapat diakomodasi dan diakses dalam pelaksanaan pembangunan. Penguatan
politik lokal atau identitas lokal harus dipahami sebagai salah satu kekuatan perekat
integrasi nasional dan kekuatan yang memperlancar pembangunan. Revitalisasi identitas
lokal dilakukan dalam tataran institusi, status, dan peran seperti Krama adat, lembaga adat
yang ditopang awig-awig (aturan-aturan) adat secara arif dapat dihidupkan, dirancang dan
didisain kembali.
Munculnya agenda pemekaran wilayah atas dasar asumsi-asumsi etnisitas yang lebih
spesifik salah satu indikasi penguatan identitas terhadap wacana demokrasi lokal.
Masyarakat Indonesia yang kaya akan identitas kelompok etnis, membutuhkan pemahaman
yang serius dalam membangun kerangka interaksi politik yang toleran, yang dalam
potensinya bisa memperkuat pluralisme (Abdilah, 2002) Sementara Giddens (2000)
menjelaskan bahwa heterogenitas itu sendiri bukan merupakan suatu halangan. Ia
merupakan bagian terpenting yang tak dapat dipisahkan dari makna “bangsa kosmopolitan”
yang sesungguhnya.
Kehadiran masyarakat dalam wilayah publik yang terbuka merupakan bagian dari
perluasan arena gerakan rakyat dengan cara ikut berpartisipasi di dalam pembentukan
kebijakan daerah sebagai upaya penguatan basis lokal. Penguatan basis lokal tersebut
diharapkan bisa mengubah taraf kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat. Oleh
sebab itu, bagaimana menggunakan pintu pemberian otonomi daerah ini menjadi titik
masuk bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat. Sementara pertumbuhan otoritas
pemerintah pusat yang disejajarkan dengan pemerintah lokal untuk melakukan stabilitas
ekonomi dan politik serta meningkatkan partisipasi dalam program pembangunan (Mac
Andrew, 1986). Hal senada juga dinyatakan oleh Morfit, (1995) bahwa usaha yang dilakukan
pemerintah pusat dalam menangani masalah yang ada di daerah adalah memperkuat posisi
pemerintah daerah, ini semua terkait dengan desentralisasi yang dilakukan. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya peran pemerintah di aras lokal/daerah dalam
melaksanakan pembangunan di daerah.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah
mengisyaratkan adanya pengakuan terhadap pluralisme masyarakat di daerah, dengan
memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah untuk mengatur diri sendiri melalui
local self government, dan melaksanakan model pembangunan yang sesuai dengan
kekhasan masing-masing daerah. Sedangkan dari segi politik ekonomi mengharuskan adanya
pemencaran kekuasaan (dispersed of power) yang sesuai dengan tuntutan global dewasa ini
dan semakin memberikan ruang (space), tempat penting kepada masyarakat sambil
merumuskan kembali peran negara, sehingga negara berperan sebagai agen regulator dan
agen administratif. di tingkat lokal. Selain itu, pembuatan
dan penegakan berbagai peraturan untuk mencapai perubahan sosial dalam masyarakat
akan melibatkan berbagai pihak seperti legislatif, eksekutif dan birokrasi, elit politik dan
ekonomi, kelompok-kelompok kepentingan dan masyarakat. baik melalui perumusan dan
pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur wilayah otonominya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdilah S., Ubed, 2002. Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas,
Magelang: Indonesiatera.
Abdullah, Irwan.2003. Masalah Kebudayaan dalam Pembangunan. Dalam Humaniora, Vol.
XV.
Gidden, Anthony, 2000. Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya
Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka.
Heinelt, Hubert and Wollmann, 2003. Local Politics Research In Germany: Developments
and Characteristics In Comparative Perspective. London: Sage Publications.
John, Steward & Gerry Stoker, 1989. The Future of Local Government, London: Macmillan.
Morfit, M., Strengthening the Capacities of Local Government : Policies and Constraints, in
Mac Andrew (ed) 1986. Central Government and Development in Indonesia,
Singapore: Oxford University Press.
Soedjatmoko. 1983. Dimensi Sosial Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Surbakti, Ramlan, 1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia.
Sjamsudin, Nazarudin, 1989. Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia.

Oleh: Habib Alwi Staf pengajar Ilmu-Ilmu Sosial di IAIN Mataram

0 comments: