Pages

8/10/2008

Menuju komisi pemilihan umum yang mempunyai kemandirian moral

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) pada waktu yang lalu peranan negara sangat menonjol. Yemi Osinbajo dan Olukonyisola pernah mengamati, apabila peranan negara sangat menonjol sebagai alat pembangunan, akan berakibat hak-hak politik warga negara sering terdesak untuk memenuhi hak-hak sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Dilihat dari kacamata demokrasi, penyelenggaraan Pemilu yang demikian tidak boleh dipertahankan. Oleh karena inti dari demokrasi adalah “sharing of power” diantara kelompok-kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat nasional, termasuk hak untuk menyatakan pendapat dan bersaing mendapat kesempatan membuat atau mempengaruhi keputusan-keputusan. Unsur yang penting adalah terdapat mekanisme arus balik dan penyesuaian yang mendorong pemerintah menjawab dan menyesuaikan sikap terhadap pandanganpandangan lain.

Kecenderungan sekarang ini penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) tidak lagi dilaksanakan oleh pegawai-pegawai dari pemerintah dan wakil-wakil partai politik sebagai pegawas perilaku yang melaksanakan Pemilu tersebut. Seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) sekarang ini yang akan menyelenggarakan Pemilu bukan berasal dari kelompok pemerintah, dimana anggotanya diupayakan sendiri oleh KPU, yaitu terdiri dari berbagai pihak yang independen dari pemerintah dan partai politik.
Dengan ini KPU mempunyai posisi krusial dalam Pemilu. Mengapa ? Tidak lain, oleh karena KPU adalah lembaga yang independen dan bertugas menyelenggarakan Pemilu. Sementara itu, Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
Hal itu sejalan pula dengan apa yang diamati Jeremi Pope, bahwa “suatu pemerintah mendapat keabsahan dari keberhasilannya memperoleh mandat dari rakyat untuk memerintah. Cara memperoleh mandat sangat penting bagi mutu keabsahan itu dan bagi kesediaan semua pihak untuk mengakuinya.
Selanjutnya, Ia mengamati, “Pemilihan Umum yang tidak memiliki keabsahan melahirkan keadaan tidak stabil dan lingkungan yang mendorong korupsi berkembang biak dengan cepat. Oleh karena itu, KPU dapat dikatakan ikut dalam menentukan gerbong pemerintahan, dimana penentuan itu dilakukan melalui Pemilu. Pendapat itu relevan dengan pendapat yang mengatakan fungsi utama Pemilu adalah melegetimimasi kewenangan publik dan memberi mandat kepada pejabat untuk melakukan tindakantindakan tertentu.
ETIKA
Berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum ditentukan bahwa tugas dan wewenang KPU adalah sebagai berikut:
a. Merencanakan penyelenggaraan Pemilu;
b. Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan Pemilu;
c. Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan Pemilu,
d. Menetapkan peserta Pemilu;
e. Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota;
f. Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara;
g. Menetapkan hasil Pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota;
h. Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pemilu;
i. Melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.

Sementara itu, menurut Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum tersebut kewajiban KPU adalah sebagai berikut:
a. Memperlakukan peserta Pemilu secara adil dan setara guna menyukseskan Pemilu;
b. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan
Pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c. Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris KPU berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
d. Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
e. Melaporkan penyelengaraan Pemilu kepada Presiden selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah
pengucapan sumpah/janji anggota DPR dan DPD;
f. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN; dan
g. Melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.
Tugas, wewenang, dan kewajiban KPU di atas merupakan ketetapan yang harus ditegakkan oleh setiap anggota KPU sebagaimana telah ditentukan oleh pemerintah atau negara melalui Undang-Undang. Namun, untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban KPU itu, harus pula dikawal melalui etika.
Pembicaraan etika memang sulit dan tidak mungkin dapat diuraikan disini secara tuntas. Namun, sebagaimana disinggung di atas bahwa etika perlu dalam konteks KPU. Menurut K. Bertens secara konkret teori etika ini sering terfokuskan pada perbuatan. Ditanyakan: apa yang mengakibatkan perbuatan ini menjadi baik, sedangkan perbuatan lain tanpa ragu-ragu kita tolak sebagai buruk atau malah buruk sekali ? Kita mencari fundamental rasional untuk penilaian kita itu. Bertens mengatakan tentu saja. Ia mengatakan pula, kalau di sini kita berbicara tentang “perbuatan yang baik,” yang kita maksudkan adalah baik dari sudut moral, bukan susut teknis atau sebagainya. Lebih lanjut Ia mengatakan, bisa saja, menurut segi teknisnya suatu perbuatan adalah baik sekali, walaupun dari segi moral perbuatan itu justru buruk dan karena itu harus ditolak.
Pada kesempatan itu Berten menguraikan bahwa teori etika membantu kita untuk menilai keputusan etis. Teori etika menyediakan kerangka yang memungkinkan kita memastikan benar tidaknya keputusan moral kita. Berdasarkan suatu teori etika, keputusan moral yang kita ambil bisa menjadi beralasan. Dalam bahasa Berten, suatu teori etika membantu kita untuk mengambil keputusan moral yang tahan uji, jika ditanyakan tentang dasarnya. Teori etika menyediakan justifikasi untuk keputusan kita.
Apabila dikaitkan dengan teori “utilitarisme”, maka menurut teori itu suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat tersebut harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam perumusan terkenal berkenaan dengan pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number.
Etika akan dapat membantu untuk menciptakan orientasi. Franz Magnis-Suseno mengatakan bahwa salah satu kebutuhan manusia yang paling fundamental adalah orientasi. Di sini etika dapat dipandang sebagai orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus bertindak ? Dengan penerapan etika bagi anggota KPU akan menjadikan anggota KPU mempunyai orientasi bagaimana KPU menjalankan tugas, wewenangnya dan kewajibannya tersebut. Dengan perkataan lain, di sini etika dapat membantu KPU untuk mencari orientasi. Tujuannya agar KPU tidak berjalan dengan cara-cara ikut-ikutan saja terhadap perbagai pihak yang bagaimana KPU harus berjalan, melainkan agar KPU dapat mengerti sendiri mengapa KPU harus bersikap. Dalam hal ini etika akan membantu, agar KPU lebih mampu untuk mempertangungjawabkan tugas, wewenang dan kewajiban KPU.
Dengan demikian etika menjadi sumber standar tingkah laku individu dari anggota KPU, dimana standar etika berasal dari standar moral dari dalam individu dan ditegakkan oleh individu bersangkutan. Melalui hukum masyarakat menegakkan aturan hukum untuk semua anggota masyarakat, sementara melalui etika individu mengembangkan dan menegakkan standar moral bagi diri mereka sendiri.
KEMANDIRIAN MORAL
Pendapat Franz Magnis-Suseno berkenaan dengan sikap-sikap kepribadian moral yang kuat perlu dicermati dalam membicarakan posisi KPU sekarang ini. Ia mengatakan bahwa kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar. Salah satu sikap dan keutamaan yang mendasari kepribadian yang mantap tersebut adalah “kemandirian moral.” Ia mengatakan bahwa kemandirian moral berarti bahwa kita tak pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Katanya, kita bukan bagaikan balon yang selalu mengikuti angin. Selanjutnya, Ia menyebutkan kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Suatu kekuatan yang dalam kondisi apapun juga tidak mau berkongkalikong dalam suatu urusan atau permainan yang kita sadari sebagai tidak jujur, korup atau melanggat keadilan.
Tepatlah yang dikatakannya yang membuat penekanan, mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat “dibeli” oleh mayoritas. Sejalan dengan itu Ia mengatakan pula bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.
PENUTUP
Dengan demikian untuk mutu KPU untuk mewujudkan Pemilu, penting diformulasikan dengan penegakan hukum atau peraturan perundang-undangan serta etika dengan standar moral yang mengandung prinsip-prinsip yang dapat mendukung Pemilu untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, sekaligus untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu sikap kemandirian moral perlu menjadi dasar kepribadian yang mantap bagi anggota KPU.
Terakhir, tidak salah di sini disampaikan uraian 2318 tahun yang lalu Aristoles dalam bukunya The Nicomachean Ethics mengatakan, bahwa pelajaran tentang kebaikan hanya dapat diberikan kepada orang yang sudah tahu apa itu “baik”. Pendapat itu relevan dengan adanya pendapat yang mengatakan, bahwa kalau orang sama sekali tidak tahu apa itu adil, percuma kita menjelaskan kepadanya kewajiban untuk memperlakukan orang lain dengan adil. Begitu pula dengan hal berkenaan dengan tanggung jawab, orang sudah mesti merasakan apa itu tanggung jawab, bahkan orang tersebut, mesti ingin menjadi manusia yang bertanggung jawab, baru masuk akal ia diberi pegertian tentang tanggung jawab tersebut. Oleh karena itu, ajaran yang berisi mengenai kewajiban manusia untuk bertanggung jawab hanya akan efektif pada seseorang apabila ia sudah bersedia bertanggung jawab.


Bismar Nasution∗∗
Pengajar pada USU/Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana USU, Dosen/Penguji pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Dosen pada Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta

0 comments: