Pages

8/10/2008

Sistem Pemilu Ideal?

Wacana sistem pemilihan umum di Indonesia yang dulu adem-ayem kini menunjukkan gairah hidup. Pemerhati dan pakar ramai mengajukan “Sistem Pemilihan Umum yang Ideal” menurut mereka. Beberapa pihak mengajukan Rancangan Undang-undang yang – kata mereka – merupakan transisi menuju sistem pemilu yang ideal. Sistem yang menurut banyak pemerhati dan pakar di Indonesia ideal itu adalah “sistem distrik”. Setidaknya itu kesimpulan yang dapat diambil dari pendapat banyak pemerhati yang terlontar di media massa.

Sesungguhnya di kalangan pelajar sistem pemilihan umum mutakhir, istilah “Sistem Pemilihan Umum Ideal” dipakai sebagai batu ujian pertama untuk mengukur pemahaman seseorang. Pernyataan bernada “Sistem X adalah sistem pemilihan umum ideal” dari orang yang dianggap - atau menganggap diri - memahami sistem pemilihan umum akan ditanggapi dengan senyum, karena konsep “Sistem Pemilihan Umum Ideal” adalah konsep usang yang telah ditinggalkan.

Lonceng kematian konsep “Sistem pemilihan umum ideal” telah dibunyikan keras dan berkali-kali oleh berbagai pakar sistem pemilihan umum. Terakhir oleh Lijphart (1994), Cox (1997) dan Katz (1997). Kesimpulan mereka senada, “Tidak ada sistem pemilihan umum ideal”. Dalil-dalil lama direduksi menjadi kecenderungan. Reduksi ini tidak menihilkan dalil bahwa sistem plurality-majority akan menghasilkan sistem dua partai, atau dalil lain, sistem proporsional akan menghasilkan anggota parlemen yang bergantung kepada pimpinan partai. Kesadaran yang luas diterima adalah bahwa keadaan masyarakat dimana sistem pemilihan umum itu (akan) diterapkan mempengaruhi terpenuhi tidaknya dalil-dalil yang dahulu dipegang. Jadi ada azas kondisionalitas yang berlaku.

Sistem Distrik dan Primary Election

Menurut sebagian pemerhati keunggulan sistem pemilu distrik adalah adanya pemilihan pendahuluan (primary election). Dengan pemilihan pendahuluan calon dipilih oleh seluruh anggota partai (dalam kasus closed primaries) atau seluruh pemilih (dalam kasus open primaries) lewat suahtu proses mirip pemilu. Dominasi pimpinan partai politik terhadap proses pencalonan dapat dikurangi hingga mengikis budaya patronisme.

Ada sedikit keganjilan dalam pandangan ini. Lazim berlaku di kalangan pelajar dan peneliti sistem pemilihan umum bahwa pembahasan mengenai “sistem pemilihan umum” dibatasi pada besar distrik, struktur pemberian suara, dan aturan penerjemahan suara pemilih menjadi kursi dalam parlemen (untuk pemilihan legislatif) atau ke dalam jabatan (untuk pemilihan eksekutif). Jadi pemilihan pendahuluan bukan merupakan elemen yang digunakan dalam klasifikasi sistem pemilihan umum.

Klaim bahwa pemilihan pendahuluan adalah khas sistem distrik merupakan kesalahan metodologi. Setiap partai politik dalam setiap sistem pemilihan umum – kecuali jika dibatasi oleh undang-undang – bisa menggunakan pemilihan pendahuluan untuk menentukan calon mereka. Bukan hal yang diharamkan bagi partai-partai politik dalam sistem pemilihan umum proporsional untuk melakukan pemilihan calon melalui pemilihan pendahuluan.
Sistem Distrik dan Jarak Pemilih dengan Wakilnya

Apa yang di Indonesia disebut sebagai sistem distrik adalah sistem first-past-the-post (FPTP) yang dipakai di beberapa negara anglo-saxon seperti Amerika Serikat, Inggris maupun negara-negara bekas koloninya. Sebutan lain yang lebih taat azas untuk sistem ini adalah Single Member District Plurality (SMDP).

Yang sering disebut sebagai keunggulan sistem ini, dan sangat sering dikutip oleh para pemerhati di Indonesia adalah kedekatan jarak antara pemilih dengan wakilnya. Kedekatan ini timbul karena wakil rakyat yang terpilih dari distrik beranggota tunggal akan lebih bertanggungjawab kepada publik pemilihnya. Di sisi lain pemilih akan memberikan pilihan kepada orang yang mereka kenal dan percayai sehingga melahirkan wakil-wakil yang lebih accountable kepada pemilih mereka.

Di sisi lain, kedekatan jarak pemilih dengan wakilnya cenderung menghidupkan isu-isu lokal, kedaerahan dan kesukuan. Keadaan lebih diperparah jika ada disparitas pembangunan antar wilayah, seperti di Indonesia. Daerah-daerah yang lebih terbelakang akan menuntut porsi pembangunan lebih besar untuk mengejar ketinggalan, sementara daerah yang lebih maju akan menuntut yang tidak kalah besar untuk menjaga tingkat pertumbuhan. Kombinasi dari suburnya isu lokal dan etnis, disparitas pembangunan, dan adanya wilayah basis adalah syarat cukup terbentuknya gaya sentrifugal yang cukup besar untuk menimbulkan efek disintegratif. Sistem distrik akan semakin menyuburkan desakan-desakan untuk pemisahan diri yang saat ini mulai digulirkan oleh beberapa daerah.
Sistem Distrik = Sistem Ideal ?

Pernyataan Alexis de Tocqueville pada pertengahan abad ke-19 mengenai sistem ini menarik untuk disimak. Ia menyatakan kunci keberhasilan penerapan pemilu sistem distrik di Amerika Serikat adalah terpenuhinya beberapa syarat seperti, pertama adanya masyarakat yang relatif homogen. Kedua, adanya konsensus dalam masyarakat untuk menerima pemerintahan melalui mayoritas. Ketiga, adanya kemungkinan minoritas menjadi mayoritas.

Ciri masyarakat Indonesia yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah pluralitas, bukan homogenitas. Dengan demikian negeri kita tidak memenuhi syarat pertama keberhasilan penerapan sistem distrik. Konsensus yang merupakan syarat kedua dapat dibangun melalui dialog, sehingga bukan tidak mungkin Indonesia akan dapat memenuhi syarat ini.

Syarat ketiga menuntut agar dimensi konflik yang ada dibatasi pada konflik yang sifatnya rasional ideologis. Dengan kata lain dibatasi kepada antagonisme sosial yang tidak didukung oleh struktur sosio-politis statis. Artinya dimensi konflik seperti etnis, bahasa dan agama harus memiliki peran minimal.

Adanya dimensi-dimensi konflik tersebut merupakan syarat cukup terciptanya dominasi politik satu kelompok atas kelompok lainnya. Dominasi ini pada gilirannya memiliki kecenderungan menyuburkan diskriminasi. Dalam keadaan dimana kelompok minoritas memiliki wilayah basis (stronghold), rasa tidak puas yang mengental dapat dengan mudah berubah menjadi usaha untuk memisahkan diri.
Pengalaman Inggris

Yang terjadi di negara ‘asal’ sistem distrik, Inggris Raya, menarik untuk disimak. Pemilihan anggota parlemen Skotlandia juga Wales National Assembly (parlemen wales) tahun 1999 menggunakan “sistem campuran” (sebagian anggota parlemen berasal dari sistem distrik, sebagian dari daftar proporsional). Untuk memilih anggota Parlemen Eropa (European Parliament) Inggris Raya menggunakan sistem Proporsional stelsel daftar (List Proportional Representation), sistem yang biasa digunakan di Indonesia.

Komisi Jenkin’s yang ditugaskan meneliti sistem pemilihan umum alternatif yang mungkin menggantikan sistem distrik, dalam laporannya di tahun 1998 mengusulkan sistem yang disebut AV+ (Alternate Vote Plus). Dalam usulan komisi ini 80-85% anggota parlemen (House of Commons MPs) dipilih berdasarkan Alternate Vote dalam distrik beranggota tunggal sementara sisanya diisi melalui daftar proporsional pada distrik tingkat kedua.

Desakan perubahan sistem pemilihan umum di Inggris begitu kuat hingga dirasa perlu mengadakan referendum untuk menentukan perubahan sistem pemilihan umum. Sayangnya waktu pelaksanaan referendum ini sampai sekarang masih belum ditentukan.

Disaat negara ‘asal’ sistem pemilu distrik tengah serius mempertimbangkan untuk merubah sistem pemilunya ke sistem yang berbasis proporsional, mengapa kalangan pemerhati dan pakar Indonesia masih saja menganggap sistem pemilu distrik sebagai “sistem ideal”, sehingga kalaupun sistem lain diterapkan hanyalah transisi menuju penerapan sistem distrik suatu hari kelak.

Mungkin menarik disimak pernyataan Arthur Lewis bahwa “The surest way to kill the idea of democracy in a plural society is to adopt the Anglo-American system first-past-the-post” (Cara paling manjur untuk membunuh ide demokrasi dalam masyarakat plural adalah dengan mengadopsi sistem distrik). Idealkah sebuah sistem pemilihan umum yang berpotensi besar untuk membunuh demokrasi bangsa ini? Idealkah sistem pemilihan umum yang mungkin memecah-belah dan menghancurkan bangsa ini?

Kalau sistem seperti itu adalah sistem pemilihan umum yang ideal, maka saya lebih baik menejauhi sistem pemilu yang “ideal” itu dan memilih sistem pemilu yang biasa-biasa.

Oleh:Benjuino Theodore
Sumber:Pemilu Indonesia Online

0 comments: